About me

My photo
DKI Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Jesus Army ~ IE 2010 Trisakti ~ BYONIC B019 ~ PMFE USAKTI '11/'12 * Addict to Sharing * Men of Honor * Father & Brother for two of my sisters

Find Out (search)

Popular Posts

Monday, July 25, 2011

Catatan Perjalanan: Mengayuh Sepeda Menyusuri Jawa-Sumatera

21/06/2011

Di negeri ini saya memang belum selevel dengan Bambang “Paimo” asal Malang,Iwan Sunter asal Jakarta,Sloki Tekno asal Jogjakarta,ataupun Roni asal Lampung yang semuanya berpetualang jauh dengan menggunakan sepeda angin.Tapi setidaknya saya pernah mencicipi sensasi yang mereka rasai, suka duka yang mereka alami,meski saya hanya menempuh rute sekitar 4.000 km perjalanan pergi – pulang: Blitar – Kerinci. ::


Sudah pasti setiap orang memiliki impian, yang bisa jadi serapuh debu atau bahkan sekuat topan. Dan impian saya sekokoh Puncak Jaya, sepanjang lintasan dunia, dan secemerlang kanvas bumantara. Semenjak satu dasawarsa yang lalu, kecintaan saya terhadap alam perlahan tumbuh. Mendaki gunung dan mengayuh sepeda jarak jauh membuat saya tergila-gila.
Lalu ketika duduk di bangku SMA, sekitar tahun 2003, saya mulai mengenal sosok Bambang “Paimo” yang kisah perjalanannya saya baca di sebuah majalah. Ada pula Iwan Sunter, Sloki Tekno, ataupun Roni yang tak kalah menginspirasi. Di mata saya, mereka benar-benar hebat. Ada semacam semangat yang berkobar setiap kali membaca kisah para petualang tersebut. “Ayo, kuatkan jiwa ragamu, kemasi ranselmu, dan kayuh sepeda anginmu!” begitu seru sebuah suara yang selalu terngiang di telinga.
Termotivasi oleh diri sendiri dan petualang lain, dengan semangat membara telah berhasil saya rampungkan satu per satu daftar impian petualangan saya, beberapa diantaranya adalah EkspedisiSolo: Puncak Jawa TengahEkspedisi Solo:Puncak Jawa Barat, Memanggul Sepeda HinggaPuncak Gunung Buthak (2861 M dpl), dan Perjalanan Sepeda: Blitar – Gunung AgungBali
Tepatnya tanggal 16 November 2006, saya memulai sebuah perjalanan, yang catatan perjalanannya akan saya tuliskan di sini. Berbekal surat jalan dan uang Rp 15.000 di kantong, saya bulatkan tekad untuk melakukan perjalanan pergi – pulang: Blitar – Kerinci sejauh 4.000 km. Tentu saya tidak seorang diri, dua partner saya sangatlah mendukung dan terlibat penuh dalam perjalanan akbar ini. Hahaha. Mereka adalah sepeda angin kesayangan saya: si Boogy, dan ukulele saya yang merah menyala: si Jago. Secara garis besar, rute pergi adalah sebagai berikut: Blitar – Ngawi – Semarang –Jakarta – Merak (jalur Pantai Utara)penyeberangan feriMerak – Bakauheni secara gratis denganmenunjukkan surat jalan ke pihak petugas pelabuhan, Bakauheni – Lampung – Palembang – Jambi– Sungai Penuh – Kerinci
Mengayuh si Boogy dari Blitar, perjalanan aman sampai Ngawi. Memasuki Semarang, semangat’45 masih membahana dalam dada. Di Batang, kota setelah Kendal, saya bertemu seorang pejalan kaki yang sedang melakukan ritual berjalan kaki atau biasa dikenal dengan istilah “nglakoni”. Jika kawan mengeksplorasi wilayah Pantura, akan kawan temui banyak manusia yang melakoni ritual jalan kaki seperti itu. Mereka tidak berbekal uang sepeserpun.
Jika ada yang memberi makan, tidak boleh ditolak, tapi pantang untuk meminta. Tujuan mereka melakoni ritual tersebut adalah demi menggapai “kasempurnaning urip” (kesempurnaan hidup). Percaya atau tidak, bukanlah perkara penting. Setiap manusia berhak memilih jalan yang ditempuh, bukan? Yang pasti, saya dan si pejalan kaki asal Kerawang yang saya temui itu saling memotivasi untuk merampungkan perjalanan kami masing-masing.  
Rindu rumah atau homesick perlahan merambati hati. Tepatnya di Serang, ada bimbang yang melanda, pertanyaan “melanjutkan perjalanan atau tidak” beberapa kali menghampiri. Parahnya lagi, seringkali terselip rasa lapar yang menjadi-jadi di antara rasa rindu kampung. Hahaha, serius. Apa yang paling saya rindu? Tentu saja Ibu, lalu Nenek, anggota keluarga lain, dan para kawan. Saya baca lagi pesan-pesan yang ditulis kawan-kawan di buku yang selalu saya bawa kala berpetualang. Ada energi baru setiap kali membaca tulisan mereka. Memunguti kepingan semangat lagi, mengumpulkan segenap kekuatan lagi, saya mengayuh sepeda lagi.
Ada kalanya saya mengistirahatkan tubuh saya. Masjid, Musholla, Kantor Polisi, rumah Lurah ataupun Kepala Desa, dan rumah penduduk adalah sejumlah tempat yang saya pilih untuk melepas lelah. Khusus rumah penduduk, bisa sampai beberapa hari, bukan atas kemauan saya, namun orang-orang yang murah hati itulah yang memaksa saya agar berlama-lama tinggal di rumah mereka.
Dan saya tidak menolak permintaan mereka. Para pengembara pasti percaya bahwa Tuhan senantiasa bersama mereka. Salah satu buktinya, saya sering mendapat uang saku dari orang-orang yang tak saya kenal sebelumnya. Seringnya, mereka terkesima melihat saya dengan wajah penuh semangat mengungklik sepeda angin dengan bendera Merah Putih berkibar bebas di ikatan belakang sepeda. Mereka memanggil-manggil, bertanya dengan antusias tentang diri saya dan perjalanan saya, lalu...memberi beberapa lembar rupiah sebagai bentuk simpati dan dukungan. Bagi saya, mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan.  
Menyeberangi lautan, naik feri tentunya...sampailah saya, si Boogy, dan si Jago di Sumatera. Karena rupiah di tangan menipis, saya berdayakan si Jago. Tidak berhasil, karena di sana mengamen dari rumah ke rumah keliling kampung seperti di Jawa itu tidaklah lazim. Pengamen biasa ditemui di tengah kota, atau di traffic light. Orang-orang kebingungan melihat seorang lelaki sedang berdiri di depan rumah mereka sambil memetik ukulele dan menyanyikan “Andai Kutahu” dengan penuh semangat. Hahaha.
Jadilah saya mencari sesuap nasi dengan jalan membantu bebersih di Kantor Polisi, menjadi pengawas amatir truk-truk yang mengangkut kelapa sawit, dan mengajukan dana ke Bupati setempat. Keberuntungan ganda, di Lampung saya mendapat sponsor dari seorang kakak kelas SMA, Mas Rif Ambon. Saya diijinkan stay sementara di mes kerjanya di Way Halim Permai Tanjung Karang. Thanks a bunch, bro!
Usai mengantongi pengalaman dan mengisi perbekalan di Lampung, saya mengayuh sepeda lagi. Sampailah saya di Palembang. Di sana saya dipalak! Oleh siapa? Tentu saja oleh garong atau pemalak. Saya dipalak di jalanan sepi di tengah hutan. Keseluruhan perbekalan saya digeledah, dibuka paksa dan diamati satu per satu. Tidak mendapati satupun barang yang menurut merekaberharga, akhirnya para pemalak tersebut mengurungkan niat awal mereka.
Bukannya bertindak kasar, mereka malah bertanya dengan penasaran tentang alasan saya bersepeda jauh, tujuan saya, bla bla bla. Saya menjawab apa adanya dengan tenang. Tak dinyana,mereka semakin terharu mendengarcerita sayaPemalak juga manusia. Ketika hendak pamit, salah satu dari mereka menyodorkan selembar uang Rp 20.000 sambil berujar, “Buat beli rokok!” Dalam keadaan masih terperanjat, saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Hahaha. 
Di Jambi, saya menginap di mes milik WARSI (Wahana Konservasi), karena kebetulan kakak senior saya memiliki teman yang bekerja di WARSI. Teman kakak senior saya yang baik itu mengadakan semacam pesta durian yang dimaksudkan untuk menjamu saya, sang tamu kehormatan. Hahaha. Dan pesta kecil itu berujung pada tragedi mabuk durian yang membikin saya tergolek dan harus menginap di sana selama 3 hari 2 malam. Hahaha. WARSI Jambi mengingatkan saya pada sesosok perempuan hebat bernama Butet Manurung yang mengabdikan hidupnya demi mengajar SukuAnak Dalam membaca dan menulis. Mungkin kawan masih ingat penggalan syair “Guruku” yang ditulisnya: 
Bahwa hidup haruslah ditempuh,
Menolong, tertolong
Bahwa ketertindasan selayaknya disudahi
Mendidik, terdidik
Bahwa alam menggeliat naluriku
Air, mata, tanah, raga, kalbu
Bahwa rona mereka merenggut jiwaku
Tawa, tangis, harap
Bahwa hidup haruslah bermanfaat
Bagimu, bagiku 
Saya masih ingat betapa terkesimanya saya kala mendengar  dia melantunkan syairnya di televisi beberapa tahun silam. Ada harap untuk bertemu dengannya, namun nyatanya tidak. Saya dengar, dia membangun LSM sendiri. Tak apa, semangat hidupnya masih membuat saya terpesona. Saya sempat bertemu dengan Suku Anak Dalam yang identik dengan rambut gimbal dan mata polos. Saya masih ingat, ketika saya mengobrol dengan salah seorang diantara mereka, saya tawarkan sebungkus rokok, dia mulai mengambil sebatang dan menghisap rokok cepat cepat, kemudian sebatang lagi, dan lagi... Setelah 2 jam mengobrol, rokok saya habis, padahal saya baru habis 2 batang. Hahaha.
Masih di Jambi, tepatnya di Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, saya dicegat oleh kawanan berseragam yang meminta saya menghentikan sepeda. Mereka tergabung dalam MCB (Motor Club Bulian). Tak lama kemudian, bergabunglah rekan-rekan mereka, lalu entah bagaimana, saya diarak keliling kota dan dipaksa menginap di rumah salah satu dari mereka, 3 hari lamanya. It sounds astonishing, huh? Keseharian saya di sana adalah nongkrong di aloon-aloon pada siang hari dan berpestapora tidak jelas pada malam hari. Hahaha. Yang paling mengesankan, mereka menghormati saya saat saya memilih untuk tidak ikut minum bir bersama mereka. Klub keren ini menjadi pintu pembuka saya mengenal Sloki Tekno, karena beberapa bulan sebelumnya mereka juga menyambut sang petualang dengan cara yang hampir sama. Begitu ternyata... Hahaha.
                 saat tiba di sungai penuh 
Saya menghentikan sepeda di Kabupaten Kerinci yang kata orang merupakan kabupaten paling elok di Provinsi Jambi. Konon, Kerinci adalah sekepal tanah surga yang dilempar oleh Tuhan ke bumi. Saya rasa, kalimat tersebut tidaklah berlebihan. Sungguh. Tercenganglah saya akan keindahannya, sekaligus akan banyaknya tempat wisata yang anehnya kurang terkenal seperti di Bali misalnya. Mungkin masih kurang promosi dan sebagainya.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Taman Aroma Peco.  Taman itu merupakan taman buatan manusia yang masih dalam kawasan perkebunan teh, sehingga di sini saya dapat menghirup aroma teh (peco) yang menyelimuti udara. Ada danau kecil, jembatan dan pepohonan yang rimbun.  Ada pula beberapa bangsal/saung untuk berteduh. Tidak saya jumpai satu pengunjung pun, jadilah saya hanya mengobrol denganPak Tukang Sapu. Taman ini kurang terawat, malahanloket masuknya sudah rusak (tidak tahu sekarang ini bagaimana).Miris! 
Spot kedua adalah Air Terjun Telun BerasapKesan pertama, air terjun ini menantang, karena debit airnya sangat deras. Umumnya, air terjun di Jawa yang saya temui banyak yang menjulang tinggi, tapi debit airnya kecil. Satu kata untuk air terjun ini: mantab! Dinamakan Telun berasap karena telun (air terjun) initampak seperti mengeluarkan asap saking derasnya air. Tidak diperbolehkan berada dekat dengan air, ada tempat khusus untuk melihat, meski agak jauh. Saat itupengunjungnya hanya saya dan beberapa anak sekolahan yang membolos untuk berkencan.Hahaha. 
Spot selanjutnya adalah Rawa Bento yang merupakan rawa panjang dan luas. Kalau dari puncak Kerinci, rawa ini tampak hijau muda. Saat saya dekati, tanahnya lembek, berlumpur dan membikinsaya sedikit kesal. Hahaha. Saya melanjutkan perjuangan yang sedikit lebih berat menuju Goa Kasah karena berkali-kali kaki dan sepeda saya jatuh ke dalam kubangan lumpur.
Rutenya mengasyikkan; menyusuri ladang pendudukmemanjat cadas-cadas, lalu turun sekitar 5 meter tanpa alat pengaman, berjalan lurus sampai menemui persimpangan, lalu dari persimpangan bebas memilih jalur ke kanan atau ke kiri. Goa Kasah tidak sengaja ditemukan pemburu burung walet. Kabarnya, di dalamnya terdapat ornamen goa berupa stalaktitperempuan sedang sholat. Ya, saya melihatnya meski samar dengan berbekal lampu senter. Sayang, foto-foto dokumentasinya tidak ada yanberhasil dicetak. Di Dusun Ranah Kasah ini saya
menginap selama 4 hari di rumah Pak Shinta, seorang lelaki paruh baya yang baik hati, yang saya temui saat saya di Rawa Bento.Yang paling menarik adalah tempat mandi di dusun ini yakni sebuah kali/sungai tepat di depan rumah tempat saya menginap. Bisa dibayangkan lah, ketika waktu mandi tiba para perempuan dengan riang gembira mandi hanya tertutup sehelai benang. Ooops, maksud saya selembar kain. Hahaha. Tidak, tentu saya tidak melakukan hal tidak pantas. Mereka perempuan, layaknya  Ibu, Nenek, dan saudari saya. 
Batu Sorban, adalah sebuah batu yang memiliki coretan gambar mirip sorban. Sebenarnya ini bukan target pengembaraan saya. Namun karena di desa inisaya tinggal di rumah Kepala Desa Sungai Iluk dan kerap mendengar cerita warga mengenai Batu Sorban, Makam Nenek Moyang, Batu Besar danPuncak Batu yang beraddi lingkungan merekaakhirnya saya yang penasaran ini segeratakeactionSaya mendaki Puncak Batu terlebih dahulu dengan sepeda. Ini memang bukan gunungmelainkan bukit, namun akan berbeda jika ditempuh dengan bersepeda. Lebih gila saja. Hahaha.
Ada beberapa tanjakanyang sulit ditempuh dengan sepeda, jadilah saya turun dan menuntunnya. Tiba di atas Puncak Batu, dapat saya pandangiKota Sungai Penuh yang tampak mirip mangkuk,yaitu dataran luas yang dikelilingi perbukitan. Subhanallah! Tidak berbeda jauh, viewSungai Penuhyang cantik terlihat jelas pula jika dinikmati dari Batu Besar, yangsesuai namanya, merupakan batu besar yang berada di atas bukit. Makam Nenek Moyang Kerinci ternyata berada di satu kawasan bukit. Makam ini sekaligus menjadi bukti penyebaran agama Islam 
                     Taman Aroma Peco 
                     Puncak Kahyangan 
                 Sumber Air Panas Semurup 
                           Danau Belibis 
                     Danau Gunung Tujuh 
                           Danau Kerinci 
                         Bunga apa hayo? 
Sumber Air Panas Semurup adalah tempat wisata berikutnya. Ramai sekali. Entah memang biasanya ramai pengunjung atau kebetulan hari minggu. Perjalanan berlanjut ke Danau Kerinci. Dapat saya saksikan senja menegaskan garis tipis punggungan Gunung Raya yang berada di barat danau ini. So damn cool! Titik selanjutnya adalah Danau Belibis, suatu keindahan yang jarang disapa. Danau tersebut berada di Kaki Gunung Kerinci melalui perladangan penduduk, tiada petunjuk arah. Berulang kali saya menanyakan arah kepada peduduk, berulang kali pula saya salah arah. Dan voila, ketemu juga! Danau yang sepi, teramat sepi. Pertanyaan klise yang serta merta muncul dalam benak saya hanya, “Di manakah gerangan belibisnya?” Hahaha. 
Seminggu sebelum tahun baru 2007 saya tiba di Giri Mulya, dan bersyukur dapat menginap di rumah Lurah Giri Mulya. Saya berencana mendaki tepat sebelum tahun baru. Jadi, ada jeda beberapa hari yang langsung saya manfaatkan untuk jalan-jalan wisata di sekitar Gunung Kerinci. Lalu, tibalah saatnya. Inilah puncak perjalanan saya. Tepat tanggal 30 Desember 2006 saya siap mendaki Gunung Kerinci yang tersohor itu. Apesnya, di basecampTNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) saya tidak mendapat ijin berangkat seorang diri. Satu-satunya jalan adalah menunggu hingga ada beberapa pendaki lain yang hendak mendaki. Tak perlu waktu lama, 3 pendaki asal Kota Sungai Penuh bergabung. Jadilah kami berempat tim pertama; saya dan 3 pendaki tersebut. 
Hari pertama; perjalanan start dari Pintu Rimbo pukul 10 pagi, tiba di shelter 2 pukul 5 sore. PintuRimbo merupakan batas vegetasi (kebun teh) dengan hutan gunung. Dalam perjalanan, saya takjub luar biasa karena alamnya sungguh masih perawan. Banyak saya temui pepohonoan berdiameter besar dan lumut memanjang. Tiba di sana, kami langsung mendirikan tenda. Malam tiba, petaka dimulaibadai sangat ribut laksana monster. Gemuruh suaranya membuat saya gusar. Didalam kami harus bergantian menopang kerangka tenda agar tidak tumbang atau terbang tersapu badai. Padahal lokasi tenda  dsemak-semak, yang secara teori harusnya meminimalisir terpaan angin, namun apa daya, tetap saja goyah. Yang penting, kami baik-baik saja pasca badai usai. 
Hari keduakami berangkat naik meski harus menembus angin dan rintik hujan. Suasana sepanjang hari gloomy, tiada matahari, hanya kabut dan kabutPerjalanan tertahan diTugu Yudha (batas vegetasi dan cadas gunung) karena kondisi tubuh kami berempat yang tidak memungkinkan untuk terus berjalan. Konon, tugu ini dinamai Tugu Yudha demi mengenangseorang pendaki asal Jakartabernama Yudha yang meninggal dunia di tempat ini.
Hari ketiga; kembali ke camp. Ada pertentangan ide antara kami berempat. Sebagian besar memilihturun, sedangkan saya bersikeras bertahan. Akhirnya, kami sepakat berpisah. Mereka bertiga turun, dan saya bertahan di sana sembari berharap bayangan pertama yang saya lihat sebagai tanda matahari muncul itu memang nyata. Sempat stres dan misuh (mengumpat) tak karuan, mata saya nanar menatap Puncak Kerinci terselimuti kabut jahanam. “Sudah jauh-jauh datang ke sini, tidak seharusnya saya gagal meraih puncak Kerinci. Saya ingin membuktikan pada diri saya sendiri bahwa perjalanan ini tidak sia-sia!”, begitu gumam saya dalam hati. Tak disangka, sore harinya muncullah 4 orang pendaki asal Solok. Saya kemudian bergabung dengan mereka. Seorang diri saya berani, berempat membuat saya lebih optimis. 
Hari keempat; bayangan pertama muncul! Saya girang bukan main dan segera naik menggapai salah satu gunung impian saya. Merangkak naik dan naik, saya semangati kaki dan hati saya untuk terus mendaki. Dan...sampailah kami di Puncak Kerinci! Pendakian tak terasa melelahkan, yang ada hanya sukacita yang melembak, melimpah, meluap. Di Puncak, mata saya menangkap rona hijau bumi, megahnya hamparan Bukit Barisan, uniknya Kota Sungai Penuh, dan cantiknya Danau Gunung Tujuh yang tepat berada di sebelah timur saya. Orang Inggris mungkin menyebut ini magnificent. Orang Perancis mungkin berseru magnifique. Saya bilang ini surga! Tiada kata buatan manusia yang mampu mewakili rasa syukur dan haru saya.  
Dan akhirnya, pulanglah saya ke kampung kelahiran saya. Secara ringkas, rute pulang adalah sebagai berikut: Kerinci – Sungai Penuh – Bangko – Sarolangun – Lubuk Linggau – Lahat – Batu Raja – Kotabumi – Lampung (Sumatera)penyeberangan feri Bakauheni – Merak secara gratis denganmenunjukkan surat jalan ke pihak petugas pelabuhanMerak – Jakarta – Bogor – Bandung – Tasikmalaya – Jogjakarta  Solo (Jalur Pantai Selatan) – Ngawi – Blitar
Perjalanan lebih lambat dari rencana, karena mengunjungi basecamp di berbagai kota yang saya singgahi. Total perjalanan yang saya tempuh (bersama si Boogie dan si Jago tentunya) adalah 124 hari. Masih banyak daftar impian saya, salah satunya adalah trip ke Kinabalu, Sabah, Malaysia Timur, melalui rute rintisan Bambang “Paimo yang dinamai Trans Borneo Cycling Trip:2.928 km”. Masih segar dalam benak saya rangkaian kata yang saya kutip dari majalah SMA, ditulis oleh salah seorang kawan bernama Mening; “Jangan remehkan kekuatan impian karena di dalamnya terdapat kekuatan Tuhan, jangan dikira bermimpi itu mudah dan tanpa beban, bahkan untuk bermimpi pundibutuhkan sebuah keberanian”.
Entah bagaimana, kalimat tersebut selalu mampu mengilhami dan menggerakkan diri saya untuk meraih impian. Detik ini saya masih berjuang mengumpulkan rupiah demi rupiah dalam rangka merealisasikan cita saya tersebut. Saya percaya bahwa saya mampu melakukannya. Pendakian, perjalanan panjang, dan perjuangan telah mengajarkan bahwa saya mampu mewujudkan impian saya, seliar apapun!
PS: Catatan Perjalanan ini didedikasikan untuk Alm. Theo, untuk inspirasi serta kebaikan hatinya. Serta untuk para dermawan yang banyak membantu, mendukung, mendanai, dan mempersilakan tempat tinggalnya untuk sejenak saya singgahi.


http://www.djarum-super.com/adventure/adventure-journal/adventurer-journey/detail/read/catatan-perjalanan-mengayuh-sepeda-menyusuri-jawa-sumatera/

No comments:

Post a Comment